Ujung Genteng: Catatan yang Tertinggal

(Beberapa paragraf awal tulisan ini tadinya saya taruh di kampungantenan.blogspot.com)

Catatan perjalanan ini sudah berminggu-minggu ada dalam tas. Sejak pulang dari tempat yang sesuai dengan namanya, Ujung Genteng, yang memang benar-benar berada di ujung wilayah Kabupaten Sukabumi, saya belum sempat membuka-bukanya lagi. Dengan sedikit memaksakan diri meluangkan waktu, saya akan tuliskan kisah menarik itu untuk anda. Sebuah perjalanan hati yang saya lakukan saat libur lebaran kemarin. Bagi teman-teman seperjalanan, mohon maaf, baru sekarang hasrat anda untuk membaca sekaligus mengenang kembali masa-masa di Ujung Genteng bisa kesampaian.

Tidak mudah untuk mencapai Ujung Genteng. Bukan dalam artian langkanya tranportasi atau lokasinya yang begitu terpencil, tetapi lebih karena tuntutan fisik dan mental yang prima. Kenapa saya berkata demikian? Dari semua perjalanan yang pernah saya jalani, inilah yang paling berat. Entah karena faktor ‘U’ yang susah diajak kompromi, atau memang seperti itulah kenyataan yang ada. Setelah anda membaca tulisan ini sampai tuntas, barangkali anda bisa menyimpulkan sendiri.

Awalnya saya tidak ada rencana, dalam waktu dekat, pergi ke tempat tersebut. Barangkali, memang sudah tiba waktunya untuk berangkat lebih cepat ketika suatu sore serombongan teman-teman muda datang berkunjung. Mereka bermaksud meminjam tenda. Untuk apa? Rupanya mereka akan pergi camping ke pantai, di Ujung Genteng. Mereka menawari saya untuk bergabung.

23 September 2009

Esok harinya perjalanan dimulai. Saya memutuskan ikut serta. Tidak sendiri, saya berangkat bersama dua junior saya (Izal & Reyhan) dan emaknya (Utami). Teman-teman muda saya yang baik hati mengajak jalan-jalan adalah Ical, Ade, Bedul, Fatimah, dan Titi. Total peserta jadinya sembilan orang.

Tempat berkumpul yang disepakati sebelum berangkat adalah di depan pos polisi yang ada di depan Terminal Baranangsiang. Rencana akan berangkat dari terminal itu jam 7.30 pagi tetapi prakteknya, bis baru jalan sepuluh menit kemudian. Perjalanan berjalan lancar dan normal, awalnya. Mengapa awalnya? Karena sepanjang jalan dari Bogor ke Sukabumi bagi saya bukan asing lagi. Jalan itu sudah sering saya lewati. Tidak ada yang aneh dan mengejutkan. Begitu mulai belok di pertigaan Cibadak ke arah Pelabuhan Ratu, inilah perjalanan yang sangat jarang saya lakukan. Bahkan seingat saya, perjalanan melewati jalur menuju Pelabuhan Ratu ini adalah yang kedua kalinya. Perjalanan pertama saya lakukan sudah lama sekali kalau tidak salah di tahun 1992. Jalan yang dilewati tidak terlalu lebar, namun mobil masih bisa berpapasan meskipun agak miring-miring bila yang ketemu sama-sama bis atau truk engkel. Bagaimanapun juga, saya masih bisa menikmati perjalanan itu. Lanjut!

Sampailah pada sebuah pertigaan. Jangan ditanya apa namanya. Saya lupa mencatatnya. Saat itu sih ingat, juga setelah beberapa hari. Masalahnya sekarang kan sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan malah. Pertigaan itu bila ke kanan menuju Pelabuhan Ratu jika ke kiri ke arah Jampang Surade. Pertigaan apa namanya? Bis saya ambil belokan yang ke kiri. Dari pertigaan itu, jalan dan lingkungannya masih “beradab”. Kelaupun ada tanjakan atau turunan, jalan itu masih saya anggap normal, setidaknya masih ada rumah di kiri kanan jalan.

Keberadaban itu lama-lama mulai memudar. Rumah-rumah di pinggir jalan mulai jarang, digantikan oleh hamparan belukar dan pohon-pohon sengon atau meranti. Jalannya lebih gila lagi. Yang tadinya cuma naik turun, sekarang ditambah kelokan dan tikungan. Celakanya lagi, sebagian jalan rusak parah. Sempurna sudah penderitaanku. Meskipun di dalam bis tetapi rasanya seperti berada dalam kaleng kerupuk yang dikocok-kocok. Jalan yang berlubang-lubang ditambah sopir yang liar cara bawanya mengakibatkan bis terguncang-guncang. Apalagi saya duduk di jok dekat pintu belakang, makin dahsyat guncangannya. Saya seperti dilempar ke atas terus dibanting. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Perut ini tidak karuan rasanya. Kepala empot-empotan pusing tidak terkira, tapi saya masih bisa menahan untuk tidak muntah.

Siksaan dunia yang saya alami dalam bis untuk sementara berakhir. Bis berhenti di suatu tempat bernama Lengkong. Saat itu menunjukkan pukul 11.30 wib. Tidak terasa perjalanan sudah ditempuh selama empat jam. Saya dan teman-teman beristirahat sambil mengisi perut di sebuah rumah makan yang kelihatannya sudah menjadi langganan bis atau mobil yang lewat. Di samping rumah makan itu ada bale yang meskipun terbuat dari bambu tetapi lumayan nyaman sebagai tempat berbaring menghilangkan penat. Saya betul-betul menikmati kesempatan istirahat dan terhindar sejenak dari siksaan dalam bis.

Setelah selesai waktu istirahatnya, perjalanan atau tepatnya siksaan kedua dimulai. Kami semua naik bis lagi. Saya kembali duduk di jok belakang seperti sebelumnya. Tidak ada pilihan tempat duduk lain karena semua kursi sudah terisi. Saya hanya bisa berdoa mudah-mudahan saya kuat menghadapi cobaan ini. Cobaan? Lebay banget yak? Tetapi memang itulah yang saya rasakan.

Kondisinya masih sama. Jalan rusak berlubang-lubang. Sopir masih ugal-ugalan bahkan malah lebih liar. Entah habis makan apa dia. Pemandangan di kanan kiri jalan membosankan, hijau tetapi pucat. Barangkali karena lama tidak hujan dan banyak debu yang menutupi permukaan daun. Apa boleh buat, saya harus menguatkan diri dan berpura-pura menikmati perjalanan yang menyiksa ini. Sekedar untuk menghibur diri. Saya yakin, nanti saya pasti akan mendapatkan sesuatu yang menyenangkan di akhir perjalanan panjang ini.

Jam 13.30 wib bis memasuki Surade. Di tempat inilah pemberhentian terakhir dari bis yang saya naiki dari Bogor. Sebenarnya ada terminalnya tetapi saya dan teman-teman memilih untuk berhenti sebelum terminal. Kami turun di pertigaan Surade. Semua barang diturunkan kemudian dibawa ke masjid dekat tempat kami turun. Ongkos bis yang Rp40.000 per orang sudah dibayarkan saat dalam perjalanan. Sebelum ganti angkutan menuju Ujung Genteng, kami istirahat dulu juga sholat di masjid itu. Dari serambi masjid saya bisa melihat plang penunjuk jalan yang berada persis di pertigaan. Di plang itu tertulis jarak terminal Surade 1 km dan Ujung Genteng 22 km. Berarti, sebelum bisa benar-benar beristirahat saya masih harus melakukan perjalanan sepanjang 22 km. Saya hanya bisa berdoa mudah-mudahan perjalanannya nanti lebih “beradab” dan menyenangkan.

Selesai istirahat selama satu jam perjalanan dilanjutkan. Setelah terkena air wudlu badan sedikit terasa segar. Dan syukurlah, doa saya terkabul. Perjalanan menuju Ujung Genteng cukup menyenangkan. Meskipun naik kendaraan yang lebih kecil tetapi jalannya rata tidak bolong-bolong dan sopirnya tidak liar. Saya yang duduk di sebelah sopir bisa dengan leluasa menikmati hamparan kebun kelapa di kanan kiri jalan. Rupanya mereka menanam kelapa untuk diambil niranya sebagai bahan baku membuat gula merah (jawa). Sebuah perjalanan yang menyenangkan, dan murah, karena ongkos angkot yang saya tumpangi itu hanya Rp4000. Dengan uang itu saya sudah bisa menikmati indahnya perkebunan kelapa di sepanjang jalan selama satu jam.

Akhirnya saya sampai di Ujung Genteng. Sungguh luar biasa. Saya sampai tidak bisa berkata apa-apa melihat keindahan pantai Ujung Genteng yang terhampar di depan mata. Yang dapat saya katakan hanyalah menyarankan anda untuk datang sendiri dan menikmati kekayaan alam ini secara langsung. Apa yang menjadi keyakinan saya bahwa di akhir perjalanan panjang hari ini saya akan menemukan sesuatu yang menyenangkan benar-benar menjadi kenyataan. Pantai Ujung Genteng yang masih perawan dengan pasir putihnya lebih dari hanya sekedar menyenangkan.

Turun dari angkot, perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki. Kami harus mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Berdasarkan informasi dari penduduk setempat, ada lokasi camping yang lumayan bagus di tepi pantai Cibuaya, Desa Pangumbahan. Desa tersebut terlihat dari tempat kami berdiri saat itu. Kami kemudian rame-rame berjalan menyusuri pasir putih menuju pantai Cibuaya. Karena berjalan sambil bercanda, tempat yang lumayan jauh terasa dekat, panas matahari yang menyengat kepala jadi tidak dirasa.

Lokasi camping di pantai Cibuaya merupakan hamparan pasir yang berbatu-batu. Bebatuan itu harus disingkirkan terlebih dahulu sebelum tenda didirikan. Tempatnya cukup teduh karena banyak pohon ketapang. Dua tenda doom yang dibawa segera dirangkai bersebelahan di bawah salah satu pohon ketapang yang cukup besar. Kedua tenda menghadap pantai. Dengan demikian, sepanjang hari kami bisa menikmati indahnya pantai dan laut lepas.

Acara camping kali ini sangat istimewa. Selama ini bila camping selalu di daerah pegunungan, sekarang di pesisir pantai. Dan ini merupakan pertama kalinya buat saya tidur di dalam tenda dengan diiringi suara deburan ombak. Yang biasanya menggigil kedinginan dalam sleeping bag, sekarang bisa tidur nyenyak dalam buaian hangatnya angin pantai. Rasanya, berapapun uang harus saya keluarkan, saya rela bila untuk membayar nikmatnya menyatu dengan alam seperti itu.

Saat sore menjelang, matahari berwarna keemasan. Sinarnya yang mulai meredup menambah suasana menjadi makin romantis. Di kejauhan nampak beberapa pasang anak manusia yang lagi kasmaran sedang mencari kerang, bermain air maupun pasir pantai. Mereka juga menunggu seperti yang sedang saya nantikan, sunset. Dan saya akan mencoba menggambarkan indahnya matahari terbenam di balik garis laut meskipun saya yakin gambaran saya ini jauh dari aslinya.

Remang senja mulai datang. Di kejauhan, sang surya berubah jingga. Makin lama makin turun dan secara perlahan tertutup oleh awan. Mega yang berwarna putih keabu-abuan itu seperti layar pertunjukan wayang kulit yang disorot lampu dari belakang. Hal ini menyebabkan terang senja memucat. Siluet penikmat matahari tenggelam mulai terbentuk. Sungguh menarik. Siapa yang bisa membuat bayangan manusia yang bergerak-gerak seindah itu? Tidak ada. Tidak ada. Kecuali Sang Penguasa alam raya.

Malampun datang. Di sekeliling tenda jadi gelap gulita. Sekitar 200 meter dari tempat berkemah terdapat toilet umum. Di situlah kami mandi, buang hajat, serta mengambil air tawar untuk masak dan bikin minum. Tidak ada mata air tawar yang bisa digunakan sepuas-puasnya seperti bila camping di pegunungan. Toilet umum itulah satu-satunya tempat untuk mengambil air, dan kami harus bayar. Kalau malam, toilet ditutup. Ini tidak praktis dan mahal. Bayangkan saja berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk kami yang bersembilan ini. Belum lagi bila misalnya sakit perut di tengah malam sementara toilet itu dikunci. Masa ‘be-ol’ di pantai? Nggak asik ah. Lagian akan mencemari tempat yang indah itu. Sayang kan? Kan nggak lucu bila pagi-pagi ada orang menemukan si kuning mengambang. Hiii… Karena itulah kami memutuskan besok akan menyewa penginapan saja, dan pindah ke tempat itu.

24 September 2009

Semalam saya tidak begadang. Oleh karenanya pagi ini saya bisa bangun lebih awal dengan badan yang terasa segar bugar dan penuh semangat. Tadi malam hanya sebentar menyalakan api unggun. Daerah pantai ternyata kurang bersahabat dengan api unggun. Angin laut begitu kencang, sampai-sampai bara api unggun memercik ke mana-mana. Saya khawatir percikan itu akan membakar tenda. Karena anginnya yang kencang ditambah lagi hujan turun, jam 9-an kami kemudian masuk ke tenda. Tidur.

Pagi-pagi kami membuat sarapan. Setelah itu memanfaatkan waktu yang ada sebelum mencari penginapan untuk bermain ke pantai. Izal dan Reyhan asyik bermain pasir. Kakak beradik ini bermain sambil ditungguin emaknya yang cantik, Utami. Sementara Fatimah, Titi, Ical, Ade, dan Bedul sibuk mencari kumang (keong laut). Anehnya saat pulang ke tenda, yang mereka bawa bangkai ikan buntal dan teripang yang menjijikkan. Mereka bilang, itupun setelah dikasih tahu penduduk setempat, teripang enak dimakan. Emang bisa masaknya? Memang benar teripang yang bentuknya seperti timun bisa dimakan setelah diolah, dengan benar tentunya. Saya pernah makan keripik (atau kerupuk ya?) teripang yang merupakan oleh-oleh dari teman kantor yang berasal dari Surabaya. Baunya amis mirip ikan dan rasanya gurih asin. Teripangnya itu, bukan teman saya.

Kurang lebih jam 10 kami beres-beres. Sesuai rencana, hari ini kami boyongan ke penginapan. Hasil hunting Ical, Ade, dan Bedul mencari penginapan telah membuahkan hasil. Kami dapat sebuah penginapan yang nyaman meskipun sederhana. Tempatnya tidak jauh dari lokasi perkemahan. Penginapan itu bentuknya rumah panggung. Tidak terlalu tinggi tetapi cukup untuk bisa terhindar dari air laut yang pasang. Dan kelihatannya air pasang juga tidak akan sampai ke situ, kecuali ada tsunami. Serambinya lumayan luas untuk tempat ngobrol sambil memandang laut biru. Penginapan itu nampaknya dirancang untuk itu karena letaknya menghadap ke laut. Bagi manusia yang lebih sering camping di gunung seperti saya ini, duduk santai sambil menatap kemilau pasir putih dan merasakan belaian angin laut sungguh sebuah kenikmatan yang tiada tara. Saya bisa melepas pandangan sebebas-bebasnya ke arah laut.

Segera semua barang dimasukkan ke penginapan. Kecuali tenda saya. Tenda itu saya dirikan di depan penginapan yang kemudian malamnya dipakai tidur. Biarlah yang lain bermalam di penginapan. Saya, Utami, dan Reyhan menghabiskan malam kedua di Ujung Genteng dengan tetap tidur di dalam tenda. Inilah contoh camper sejati. 😉

Para perempuan kemudian menyiapkan masakan untuk makan siang nanti.  Sedangkan kaum lelaki membantu dengan doa mudah-mudahan masaknya tidak gosong sambil ngobrol dan bermalas-malasan di serambi. Kebetulan di serambi ada pemilik penginapan dan seorang penduduk lokal ramah yang juga ikut nimbrung. Benar memang apa yang dikatakan orang, bila perut lapar semua jadi enak. Dan biasanya, setiap camping saya selalu lapar. Jadi, begitu waktu makan siang datang, semua yang dipersiapkan, meskipun bisa dikatakan ala kadarnya, tetap nikmat dan lezat. Buat ibu-ibu yang telah dengan gigih menyiapkan makan siang yang lezat itu, saya angkat topi. Salut.

Jam 16.00 kami semua berangkat menuju pantai penangkaran dan pelepasan anak penyu. Kata penduduk setempat, setiap jam 5 sore di tempat itu akan dilepas anak-anak penyu ke laut. Sungguh lucu anak penyu yang berusaha berjalan di atas pasir menuju laut kebebasan. Lokasi penangkaran itu lumayan jauh tetapi menjadi tidak terasa karena sepanjang jalan kami bisa bercanda sambil mencari kulit kerang yang tersebar di bibir pantai. Bila perlu masuk ke air. Dijamin tidak bakal tenggelam karena pantainya dangkal. Airnya begitu bening sehingga dasarnya jelas terlihat. Sayangnya di antara karang dan beningnya air laut tersimpan sebuah petaka. Bila masuk ke air harus berhati-hati. Banyak bulu babi yang bisa mengenai kaki atau anggota badan yang lain. Bila bulu babi itu masuk ke tubuh dan patah sakitnya bukan main. Racunnya benar-benar dahsyat. Ada kenalan yang harus masuk rumah sakit untuk dibedah setelah bermain selancar air di Pelabuhan Ratu. Kakinya kena bulu babi, dan patahannya tidak bisa diambil. Mudah-mudahan musibah seperti itu tidak menimpa anda. Namun bila anda pernah terkena bulu babi, barangkali anda bisa berbagi pengalaman tersebut di sini.

Sedikit cerita tentang bulu babi. Benda yang berwarna hitam pekat ini sebenarnya binatang laut. Bentuknya mirip benar dengan buah yang pernah saya temukan waktu camping di Pondok Halimun. Buah yang bernama saninten ini juga berduri tajam seperti bulu babi. Hanya saja warnanya tidak hitam tetapi cokelat. Kata penjaga setempat bagian dalam dari buah itu pernah dimakan sebagai pengganti beras saat penjajahan Jepang. Perbedaan lainnya adalah duri buah saninten tidak mengandung racun meskipun setajam duri bulu babi.

Tempat penangkaran penyu berupa sebidang pasir yang ada di tepi pantai. Area itu dipagari bambu setinggi 3 meter. Di dalamnya terdapat papan nama-papan nama kecil yang ditulisi tanggal mulai ditaruh telur-telur penyu yang dikubur di bawahnya. Bila waktunya menetas, anak penyu akan keluar ke permukaan. Selanjutnya mereka akan dikumpulkan oleh petugas penangkaran. Anak-anak penyu itu akan dilepas ke laut setelah cukup kuat untuk bisa bertahan hidup di lautan yang maha luas. Bila besar nanti mereka akan kembali untuk menaruh telur-telurnya di pasir putih Ujung Genteng. Sebuah siklus kehidupan yang teratur dan pasti.

Ketika sampai di tempat, banyak orang bergerombol di sepanjang pantai. Rupanya mereka juga ingin menyaksikan pelepasan anak penyu. Tidak anak-anak tidak orang dewasa, semua menanti waktu pelepasan. Begitu petugas membawa baskom plastik berisi anak-anak penyu, orang-orang itu langsung berebutan mengambil isi baskom. Mereka ingin melepaskan anak penyu dari tangan mereka sendiri. Saya tidak ikut dan tidak tertarik berebut. Namun saya minta ijin kepada salah satu yang memperoleh anak penyu untuk menyentuh hasil tangkapannya. Ternyata cangkang anak penyu yang entah berusia berapa hari atau minggu itu masih empuk.

Selesai acara pelepasan saya tidak langsung pulang. Matahari yang mulai menghilang di garis laut sangat menarik dilihat. Ini sunset kedua yang saya nikmati di Ujung Genteng. Saya hanya berani berdiri di ujung lidah ombak saat menyaksikan menghilangnya matahari dari pandangan. Ombak di wilayah pelepasan anak penyu itu berbeda dengan yang ada di depan penginapan. Di tempat saya menginap, ombak ditahan oleh batu karang dangkal yang membentang puluhan meter sehingga air tidak sampai ke pinggir, kecuali saat pasang. Sedangkan di pantai pelepasan anak penyu, tidak ada karang yang menghadang ombak laut. Ombak yang begitu dahsyat langsung datang ke pantai dan menyergap siapa saja yang tidak waspada. Titi dan Bedul contohnya. Mereka berdua hampir terseret ombak bila tidak segera ditarik. Pantai Ujung Genteng memang luar biasa indahnya, tetapi bisa sangat mematikan bila kita sembrono terhadapnya. Bolehlah bersenang-senang menikmati segala keindahan alam pantai Ujung Genteng namun harus tetap waspada. Tidak sedikit toh yang celaka saat bersuka ria di pantai?

Matahari sudah menghilang. Keadaan menjadi remang-remang. Kami berjalan kembali menyusuri pasir putih menuju penginapan. Di kejauhan terlihat lampu-lampu rumah penduduk desa Pangumbahan sudah mulai dinyalakan. Ke arah titik-titik lampu itulah saya menuju. Sore ini puas sudah menjalani semua kegiatan. Dari mencari kulit kerang, bermain pasir, berjalan di air, menyaksikan pelepasan anak penyu, sampai menikmati deburan ombak serta turunnya matahari yang berwarna keemasan. Saya tidak khawatir bakal tersesat saat pulang ke penginapan. Tidak mungkin. Hanya dengan mengikuti garis pantai, dijamin pasti sampai di penginapan. Biar gelap gulita sekalipun.

Jam 18.30-an kami sampai di penginapan. Kami antri menunggu giliran untuk mandi. Sementara menunggu, sebagian dari kami menyiapkan hidangan makan malam. Selain lauk yang merupakan menu wajib saat camping yaitu kacang teri, ada lauk tambahan sumbangan dari tuan rumah. Lauk ini sangat istimewa dan kami semua baru pertama kali memakannya. Anda ingin tahu menu apa itu? Belalang goreng! Belalang goreng! Belalang goreng! Serangga pemakan daun ini merupakan menu biasa bagi penduduk setempat tapi luar biasa bagi kami. Kami semua jadi heboh. Anda yang biasa makan mungkin heran melihat kami begitu heboh. Ada yang mau, ada yang ragu-ragu meskipun akhirnya mencoba juga. Bedul sampai merem-melek saat mencobanya. Barangkali dia sedang merasakan sensasi lezatnya belalang goreng. Saya merasakan belalang goreng itu lumayan gurih. Walaupun rasa belalangnya masih kentara, saya tetap menikmatinya. Bisa jadi karena baru pertama kali sehingga belum terbiasa maka belalang goreng itu di lidah saya agak aneh rasanya.

Selesai makan malam apalagi yang dilakukan kalau bukan ngerumpi. Sambil nyeruput kopi di serambi kami ngobrol diiringi irama debur ombak dan belaian angin pantai. Entah sampai jam berapa obrolan itu berlangsung dan entah siapa pula yang mengawali untuk berangkat tidur. Saya, Utami, dan Reyhan memilih tidur di dalam tenda yang tadi pagi saya rakit di depan penginapan, sedangkan yang lain pada tidur di dalam penginapan.

25 September 2009

Udara pagi di pantai tidak semenggigit bila di gunung. Bisa dibilang bukan dingin tapi sejuk. Airnya pun tidak dingin membeku sebagaimana di gunung. Itulah sebabnya saya berani mandi pagi. Kalau di gunung jangan harap pagi-pagi saya akan mandi. Siang saja kagak.

Selesai mandi dan sarapan, kami semua memberesi segala barang bawaan. Sesuai jadwal hari ini, kami akan kembali ke Bogor. Setelah membayar sewa penginapan sebesar Rp250.000 untuk semalam dan berpamitan dengan tuan rumah sekaligus pemilik penginapan, kami berjalan ke tempat di mana dua hari yang lalu kami diturunkan dari angkot. Di tempat itulah merupakan meeting point antara kami dengan angkot yang kemarin lusa membawa kami ke Ujung Genteng. Kami sepakat akan dijemput lagi pada pukul delapan pagi hari ini. Jika anda nanti pergi ke Ujung Genteng dan naik kendaraan umum, sebaiknya membuat janji juga dengan sopir angkot untuk dijemput agar mempermudah kepulangan anda.

Kami keluar dari penginapan pukul 07.55. Berjalan ke tempat rendevouz (pertemuan) dengan sopir angkot sekitar 10 menit. Saat kami tiba ternyata si sopir beserta angkotnya sudah standby. Hebat. Segera barang-barang dinaikkan dulu setelah itu manusianya. Tanpa berlama-lama angkot langsung jalan. Ternyata jalan yang dilewati berbeda dengan jalan yang kami gunakan saat kami datang. Waktu itu angkotnya mengikuti jalan aspal sampai mentok ke pantai kemudian belok kiri dulu untuk menurunkan seorang ibu-ibu. Di sekitar itu banyak bersandar perahu nelayan. Selanjutnya angkot balik arah menyusuri pantai sampai di tempat di mana kami diturunkan. Rupanya si sopir sekarang membawa kami melewati jalan memotong yang menembus ke jalan aspal. Lebih dekat memang tetapi kelihatannya jalan tembus itu akan susah dilewati bila musim hujan karena hanya berupa jalan tanah.

Angkot sampai di terminal Surade. Ongkos angkot sama seperti waktu mengantar kami ke Ujung Genteng, Rp4.000 per kepala. Kami akan pindah angkutan menggunakan bis yang langsung ke Bogor. Namun sayang bisnya sudah berangkat. Kelamaan dan terlalu siang bila kami harus menunggu bis berikutnya. Trayek Bogor-Surade pp hanya dilayani oleh beberapa bis ¾ dari satu PO (perusahaan otobus). Terpaksa kami menggunakan colt yang cuma sampai Sukabumi dengan tarif Rp30.000 per orang. Dari Sukabumi terus ganti angkutan menuju Bogor.

Colt yang kami naiki langsung penuh. Karena kami bersembilan dan sebelumnya sudah ada beberapa penumpang, maka begitu kami naik tidak lama kemudian terus berangkat. Begitu masuk ke dalam colt dan mencium bau interiornya, kepala langsung empot-empotan. Saya kadang-kadang seperti itu bila naik mobil dan biasanya itu menjadi indikator saya akan mabok di perjalanan. Saya hanya berdoa mudah-mudahan sopirnya tidak segila sopir bis dua hari yang lalu. Mengenai jalan yang bolong-bolong saya tidak bisa berbuat apa-apa, hanya pasrah menerima keadaan. Saya tahu bakal dikocok-kocok lagi. Namun bila si sopir membawa kendaraannya agak santun, setidaknya kocokan dan bantingannya tidak terlalu keras. Saya pasti tidak terlalu menderita jika seperti itu.

Sayangnya harapan saya tidak terpenuhi. Sungguh celaka. Sopir colt yang kami naiki ternyata lebih biadab. Dia membawa kami seperti mengangkut gerombolan kambing. Ngebut kesetanan. Tidak salah bila colt ini juga mendapat julukan angset alias angkutan setan. Pusing saya langsung mentok ke ubun-ubun. Mulut jadi berasa asam. Isi perut bergolak. Kemudian… seluruh yang saya makan tadi pagi keluar semua. Gunung berapi telah memuntahkan laharnya. Saya yang waktu berangkat gagah perkasa, tahan dibanting dan dikocok-kocok dalam bis serta merasa super karena sementara yang lain berjatuhan saya masih tegak, sekarang lunglai tak berdaya. Untungnya ada Utami yang duduk di sebelah saya, yang selalu bersedia jadi petugas palang merah yang setia dan siap menolong arjunanya yang ganteng ini. Dia memang seorang superwoman. Ke manapun pergi, dia tidak pernah mengalami apa yang saya alami sekarang. Utami ini juga seorang Kartini modern. Ah, rasanya tidak akan pernah selesai bila kebaikan-kebaikannya saya tuliskan di sini.

Perjalanan pulang ini ternyata lebih menyengsarakan. Si sopir makin biadab saja rasanya. Dia tidak peduli ada ‘veteran perang’, superwoman, dan coverboy-covergirl di dalam mobilnya. Kebiadabannya sempat terhenti sejenak saat ban belakang bocor dan harus diganti. Inilah kesempatan saya untuk keluar dari perangkap penyiksaan dan menghirup udara segar meskipun hanya sesaat.

Akhirnya kami tiba di terminal Lembursitu, Sukabumi. Saat itu pukul 12.30 wib. Begitu keluar dari colt saya mencari tempat untuk menenangkan diri dulu. Saya masih di awang-awang. Rasanya belum menginjak bumi walaupun pada kenyataan saya sudah sampai Sukabumi. Kepala yang begitu berat memaksa saya beristirahat sejenak sebelum masuk ke rumah makan. Karena mobil yang kami naiki tadi tidak berhenti di rumah makan seperti pada saat menuju Ujung Genteng, maka sekarang perut harus diisi. Apalagi tadi sudah dikuras habis-habisan di perjalanan.

Selesai makan siang kami harus naik angkot dulu menuju terminal di tengah kota Sukabumi. Rupanya terminal Lembursitu hanyalah terminal pembantu yang ada di pinggiran Sukabumi. Dari terminal yang di tengah kota, saya lupa namanya, kami naik angset menuju Bogor. Saya pikir hanya jenis angkutan itu yang ada, ternyata ada bis yang menuju Bogor. Tadinya sebenarnya saya ingin naik bis tetapi karena sudah terlanjur masuk ke dalam angset, ya sudahlah. Kali ini perjalanan menuju Bogor lebih bisa dinikmati. Jalan Sukabumi-Bogor lebih manusiawi meskipun sopir angsetnya tidak.

Inilah catatan yang tertinggal tentang Ujung Genteng. Kawan, maafkan saya bila baru sekarang saya selesaikan. Anda yang sudah membaca awal tulisan ini di kampungantenan.blogspot.com dan menunggu-nunggu kelanjutannya, saya berharap penantian anda bisa terbayar dengan purnanya kisah ini. Salam dari Bogor.

4 thoughts on “Ujung Genteng: Catatan yang Tertinggal

  1. alhamdulillah dapet info yang akurat! rencana next time mau camping di ujung genteng nih.. pengen ngerasain kaya author, camping di pinggir pantai yang indah..

    terima kasih telah berbagi pengalaman yang sangat indah ini kang. jadi terharu dan gak sabar juga nih 😀 , gak nyesel juga baca postingan dari awal sampe nemu kaki blog ini.

Leave a comment